Cinta Itu Nyata

Merasakan kehadiranmu adalah satu satunya hal yang membuatku bahagia. Meski aku tau karenanya aku di anggap gila. Tak apa, tidak ada salahnya kan? Karena tetap menganggapmu ada adalah hal yang menyenangkan. Meski disaat yang bersamaan aku harus merasakan kegetiran. Kegetiran yang amat menyedihkan. Mungkin dia menganggap aku perlu dikasihani. Gadis kesepian yang butuh empati. Tidak, ku mohon.. kau jelaskanlah padanya. Bisikkanlah sesuatu padanya lewat angin yang berhembus. Bahwa kau memang ada. Menemani tiap langkahku. Dan datang saat aku dalam kesepian.

Aku tidak pernah sendirian. Selalu ada kamu disaat aku membutuhkan. Aku tau, kaulah yang mengikutiku. Kemanapun aku pergi. Kaulah yang selalu membututiku disaat kaki ini melangkah dengan putus asa. Kau menggenggam erat jemariku. Memberi kehangatan yang selalu berhasil membuatku bertahan. Membuatku kembali bersemangat untuk melakukan perjalanan. Perjalanan panjang hidup ini.

Kenapa mereka dan dia bilang aku tidak pernah memiliki teman? Bukankah kau adalah temanku? Kenapa dia selalu berkata aku terlihat kesepian dan menyedihkan? Bukankah ada kau yang selalu jadi hiburan? Dan, ada kau selalu disisiku. Bahkan hampir setiap malam, kau datang untuk mengucapkan selamat malam. Datang dengan mengendap endap, melewati pagar rumah dan mengetuk pintu jendela kamarku.

Tapi, kenapa kau biarkan aku seperti ini? Kau biarkan aku terlihat sendiri saat tangan hangatmu merangkul bahuku. Kenapa kau biarkan aku terlihat kesepian, bahkan disaat aku ssedang tersipu mendengar pujian dan melihat tawa riangmu?

—————-

“Dia tidak pernah ada. Orang yang kamu anggap sebagai satu satunya temanmu itu tidak ada. Itu hanya halusinasi kamu”

Kata katanya seperti mensusuk dadaku, sakit sekali rasanya. Kenapa kau selalu pergi ketika dia datang? Apa kau tidak mau menampakkan wajah cemburumu? Untuk pertama kalinya aku menangis karena mu. Karena kamu selalu meninggalkanku saat ia datang. Aku tak pernah keberatan orang lain menganggap aku gila karenamu. Tapi entah apa yang terjadi, dianggap gila olehnya menjadi sangat menyakitkan. Dan aku merasa menderita.

“Percayalah, kamu butuh aku! Berhentilah menghayal. Selama ini aku yang selalu memperhatikanmu dari jauh. Selama ini aku yang selalu mengirimmu doa doa, agar angin dan malam bersedia menjadi teman malammu. Dan sekarang aku tidak tahan me lihat kamu begini terus. Aku mohon, aku begini karena aku sayang sama kamu”

Dan untuk pertama kalinya kau muncul dihadapanku saat aku dan dia berdua. Tapi tetap saja, hanya aku yang bisa melihatmu. Melihat keteduhan wajahmu. Dan merasakan ketenangan dalam matamu.  Apa semua orang buta hingga tidak bisa melihatmu? Atau… siapa kamu sebenarnya? Kenapa kau mesti begini? Membuat aku terlihat gila.

Untuk pertama  kalinya juga, tangannya membelai lebut rambut panjangku yang terurai. Selain kamu, tak pernah ada lelaki lain yang ku biarkan menyentuh bagian dari tubuhku. Meskipun hanya jari. Dan sekarang, entah apa yang terjadi. Aku biarkan dia membelai rambutku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dan kau, hanya diam.

Aku ingin sekali menjelaskan tentang kehadiranmu dihadapanku. Dibelakang lelaki yang saat ini memelukku. Tapi kenapa kau justru pergi. Samar, dan kemudian menghilang. Benar benar menghilang.

“Kamu bakal baik baik aja sama aku. Kamu gak akan pernah kesepian lagi. Karena ada aku. Tolong jangan menolak”

Dan aku melepasnya. Aku memanggil namamu dengan isak tangis yang menyedihkan. Aku sendirian, aku mohon datanglah. Berikan penjelasan pada pria ini, bahwa aku waras. Kamu ada, kamu selalu menemaniku. Dan aku bukan gadis kesepian. Katakan pada psikiater sok tahu ini. Bahwa kau adalah temanku yang nyata. Karena aku pernah memelukmu disaat aku menangis sendirian. Kau pernah menggandeng tanganku saat aku menangis dijalanan.

Dan kau benar benar tak pernah kembali. Pelukannya membuatku semakin terluka. Aku menangis, entah karena apa. Menangisi kepergianmu dan panggilanku yang tak terjawab? Atau menyadari ketiadaanmu selama ini?

Aku biarkan tubuhku tumbang dalam pelukannya. Di ruang kotak yang cukup luas dengan nuansa putih yang menyenangkan. Disudut sana, ibuku tersedu. Aku benci tempat ini. Hanya saja karena ibu, aku selalu mau saat di ajak kesini.

Dan akhirnya setelah berhari hari, aku sadar akan satu hal yang masih membingungkan. Kau pergi, tak kembali. Atau orang orang benar, bahwa kau memang tidak ada. Aku benci memikirkannya.

Tapi genggaman tangan pria itu, selalu membuatku tenang. Meski aku terluka. Merenungi banyak hal tentang kegilaan aku denganmu. Dengan ketiadaanmu yang aku anggap ada disisiku selama ini.

Satu bagian dalam hatiku, sampai hari ini masih menganggapmu ada. Dan sebagiannya selalu berfikir bagian yang aku benci. Menentang sebagian hati yang lainnya. Mencoba  meyakinkan otakku, bahwa kau tidak pernah ada. Bahwa kau hanya hayalanku saja. Hayalan karena selama ini aku kesepian. Dan sampai bagian ini, aku selalu menangis. Menemukan jalan buntu. Tidak mengerti bagian mana yang harus aku percaya.

Dan meskipun berbulan bulan telah berlalu, kau benar benar tak pernah lagi muncul dihadapanku. Aku benci, kadang aku berfikir mungkin kau marah dihari itu. Ketika dokter itu memelukku. Membelai rambutku. Kau seharusnya tidak menghilang begini. Kata sebagian hatiku. Dan aku juga menginginkan hal itu. Meski sebagian kadang menolak.

Aku harus menjelaskan padamu, dia temanku. Teman kecilku. Satu satunya orang yang mau memberikan senyum ramahnya kepadaku. Dulu. Dan setahun berlalu, kau tak prnah lagi muncul dihadapanku. Tidak juga dalam mimpiku. Dan gantinya dia selalu datang kerumah. Membawawa bunga dan kue kue untuk aku makan. Selama itu, aku hanya membisu. Entah, tidak mengerti apa yang aku fikirkan. Tapi aku mulai nyaman. Tanpa kehadiranmu. Dan dengan kedatangannya.

Purnama Di Villa

Malam begitu indah untuk dilewatkan begitu saja. Bulan bulat sempurna. Langit cerah dengan banyak bintang yang menghiasinya. Hawa dingin menembus mantel. Membuatku memeluk diri sendiri. Ternyata lebih indah memandang purnama disini. Di Villa yang telah disediakan kantor. Di kawasan Puncak, Bogor. Ini bukan week end. Bukan juga liburan. Aku datang kesini karena ada rapat. Tugas, dan dalam rangka pekerjaan. Tapi ini menyenangkan. Liburan disela sela pekerjaan. Lumayan, untuk menghilangkan penat di kantor.

Aku duduk di teras penginapan. Lima menit berlalu, membuat teh yang tadinya mengepul menjadi dingin. Aku menyukai momen seperti ini. Damai. Walaupun banyak tugas tugas kantor yang menunggu untuk di selesaikan segera, tapi dalam suasana seperti ini tak membuatku menjadi stress. Seandainya saja suasana di Ibu Kota juga seperti ini. Aku melirik laptop yang masih menyala. Seharusnya aku juga fokus dengan pekerjaan sekarang. Tapi pemandangan di langit sana membuatku lalai dengan tugas.

Aku menghela nafas. Menyerah mempertahankan keinginan untuk tetap memandang langit. Aku meraih laptopku dan mulai menyelesaikan beberapa tugas dan menyiapkan materi untuk rapat besok pagi.

Handphoneku berbunyi. Menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk. Aku meraih handphone yang terletak di sofa sebelahku.

Bisa keluar?

Aku terdiam bingung. Tidak mengenali nomor yang baru saja mengirim pesan.

Aku sudah di luar. Di depan pintu tempatmu menginap.

Aku semakin bingung. Terlebih saat dia tau aku sedang menginap. Aku masih enggan untuk bangkit dan membuka pintu atau membalas sms dan bertanya siapa ini? Tapi tak lama pintu di ketuk. Aku ragu untuk membukakan pintu. Tapi ada perasaan penasaran yang mendorongku untuk bangkit dan membuka pintu.

Aku tidak menyangka akan mengalami hal ini dalam hidupku. Aku pernah menginginkannya. Bahkan selalu mengingingkannya. Tapi selama bertahun tahun, yang aku tau keinginanku adalah hal yang mustahil dan tidak masuk akal. Sampai aku mengalami ini. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku juga tidak tau, saat ini aku menangis untuk bahagia atau justru sebaliknya. Menatap wajahnya sedekat ini, seperti mengorek luka lama yang baru saja akan sembuh. Perih.

“Maaf”

Hanya itu katanya. Dan dia diam lagi untuk waktu yang lama. Aku masih memandanginya. Aku berharap dia tidak sekedar mengucapkan kata maaf. Aku berharap dia mengucapkan banyak kata lagi. Kata kata yang bisa meredakan apapun yang sedang bergemuruh dalam hatiku sekarang. Dan karena itu, aku tidak bisa berkata apapun. Sepatah katapun.

“Aku nggak tau, harus bilang apa. Aku tau aku salah. Tapi tolong maafkan aku”

Aku masih menatapnya tak percaya. Berharap dia bicara lagi. Tidak sekedar kata maaf. Apapun, penjelasan yang selama ini aku tunggu, atau apapun. Apapun yang mampu meredakan perasaan  ini. Dia memelukku. Menyembunyikan wajahku seperti saat terakhir kali dia memelukku dan kemudian meninggalkanku. Tanpa menjawab pertanyaanku. Tanpa menjelaskan bagaimana kelanjutan hubungan itu. Hingga enam tahun berlalu dan tiba tiba dia datang di depanku. Meminta maaf.

Aku mematung untuk sekian menit. Pasrah dalam pelukannya. Aku berdoa semoga tidak ada yang melihat adegan ini. Sampai aku menarik diri. Sebenarnya aku ingin berbalik. Menyuruhnya pergi dan menutup pintu. Tapi tidak. Bukan itu yang aku lakukan. Hatiku mendambanya, mendamba jawabannya dan membutuhkan penjelasannya.

“Masuk”

Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Aku masuk dan dia mengikutiku. Aku duduk di sofa yang memanjang di teras villa. Memandang rembulan yang sedang dalam posisi sempurna untuk dibilang indah.

“Aku tau kamu disini”

Katanya membuka mulut.

“Tau darimana?”

Aku mengatakannya dengan nada datar.

“Aku kebetulan lagi ada tugas juga disini. Aku juga nginep disini.”

“Terus?”

“Aku tau, aku punya salah. Aku belum menjelaskan apapun.”

“Jelaskan sekarang”

“Vin, aku minta maaf.”

“Rey, maaf gak cukup. Bertahun tahun kamu pergi. Tanpa kejelasan. Dan kalau kamu dateng Cuma buat minta maaf itu percuma. Jauh sebelum ini aku udah mutusin buat maafin kamu. Apapun alasannya.”

Lalu hening kembali menguasai kami. Entah apa yang Rey fikirkan saat itu. Aku hanya bisa menebaknya, mengira ngira. Mungkin dia sedang memilah kata yang pas untuk memulai semuanya. Penjelasan yang aku tunggu selama enam tahun.

“Vin, aku tau aku salah. Waktu itu aku ninggalin kamu. Dan demi apapun aku gak sanggup buat mutusin kamu. Kamu terlalu baik buat nerima kenyataan itu. Kenyataan kalau ada orang lain diantara kita. Ada cewek lain selain kamu. Dan bodohnya aku lebih memilih dia.  Aku milih buat pergi tanpa ngasih tau kamu, Tanpa penjelasan apapun. Mungkin itu jauh lebih baik buat kamu”

Ya Tuhan….. inikah yang harus aku dengar setelah enam tahun menunggu? Menyedihkan sekali. Enam tahun terlewati sia sia hanya untuk mendengar penjelasan dari lelaki bejat ini.

“Aku nggak nyangka, bakal begini. Aku denger dari Tio kalo selama enam tahun ini kamu masih jomblo. Dan Tio juga bilang kalau kamu masih berharap bisa ketemu aku dan ngasih penjelasan tentang semuanya.”

Jadi Tio tau? Sahabatku, teman sekantorku tau. Dan dia cuma diam?

Aku masih terdiam. Kenyataan yang selama enam tahun aku ingin ketahui kebenarannya tidak lebih baik dengan enam tahun yang ku lewati dengan harapan dan angan yang menyakitkan. Percuma menyimpan perasaan ini. Mempertahankan rasa sayang yang ternyata hanya ini balasannya.

“Cukup”

Kataku.

“Silahkan keluar, dan pergi”

“Viin…”

“Kamu butuh maaf? Sudah lama aku memaafkannya. Dan aku butuh penjelasan. Kamu juga sudah memberinya. Sekarang kita nggak ada urusan apapun lagi”

Aku berdiri menuju pintu dan membukanya. Melirik Rey yang masih tertunduk. Aku memandanginya tanpa berkata apapun. Diapun berdiri dan pergi.

Aku kembali duduk di sofa. Memandang ke sebelahku seolah Rey masih ada disana. Aku menautkan jari jari di tanganku. Menunduk dan menangis. Betapa aku merasa sia sia dan bodoh. Wanita mana yang mau menunggu enam tahun untuk kejelasan hubungan yang ditinggalkan begitu saja? Dan demi kata setiaku pada Rey. Aku menghabiskan enam tahun yang panjang dengan perasaan yang begitu begitu saja. Tiap malam sedih, melamun, dan tiap malam pula aku menghayalkan Rey datang dan menjelaskan segalanya. Berharap penjelasan itu membuatku merasa jauh lebih baik. Membuat hubunganku dengan Rey bisa kembali seperti dulu lagi.

Dan hari ini, tepat saat purnama terlihat sempurna. Kenyataannya tak seindah apapun yang aku harapkan. Aku menghela nafas panjang. Menarik kata kataku lagi. Tidak, ini tidak buruk. Ini lebih baik. Besok aku bisa berdandan lebih cantik. Menebar seyum manis dan mulai berfikir untuk mencari pengganti Rey.

Jadilah

Jadilah dia menjadi resah

buah dari desah sebelum terucap sah

 

Jadilah ia sebongkah sesal

Sebab kesal dibiarkannya tinggal

Dan, hilanglah akal

 

Jadilah kau merasa pilu

Hatimu yang merengek rindu

Tak juga diberi temu

 

Jadilah kau teman

Mendengarkan, pedulikan

Dan jangan biarkan ia lapar tanpa makanan

Bagi nuranimu

Sebelum ia mati dan membunuh hati

Jadilah teman

Untuk nurani

Sebelum ia pergi

Dan hidupmu akan mati sebelum mati

Bagianku

Mencintaimu

Aku seperti mencintai diri sendiri

Memahamimu

Seperti sedang menyelami diri sendiri

 

Aku mencintaimu

Dengan segala kekuranganku

Dalam dirimu

Aku mencari penawar sedihku

Mencari bagian yang hilang dariku

Pindah

​Tanganku melambai ke arah taksi dengan perasaan lega. Akhirnya setelah hampir setengah jam menunggu, ada juga taksi kosong.
“Kemana mba?”
“Jalan Ibnu Armah, Gandul”
“Dari perempatan, terus kemana?”
“Ke kiri kalau dari Cinere”
Aku menghela nafas panjang. Meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh jarak dari Sawangan sampai ke rumah. Tapi di jam jam seperti ini, aku yakin bisa sampai 1 jam lebih jarak tempuhnya.
Tidak ada perbincangan lagi. Sepertinya supir taksi ini bukan tipikal orang yang suka berbasa basi. Akupun diam. Lelah seharian membantu Paman pindahan. Dan lelah menyimpan ketakutan ini.
Ketakutan yang berhari hari menyesakkan dada. Yang membuatku merasa berat untuk memejam mata. Tidak terasa, mataku memanas. Dan hampir saja menangis.
Paman pindah rumah begitu mendadak. Dan menjual rumah lama dengan harga yang tidak semestinya. Itu terlalu murah menurutku. Tapi, aku mengiyakan saja. Sebab aku tau, paman sudah tidak betah disini. Dan aku tidak tau apa sebabnya.
Aku lahir disana, tumbuh besar dan banyak belajar disana. Rasanya berat untuk pindah. Meski tidak terlalu jauh, tapi rumah itu terlalu banyak kenangannya untuk di tinggalkan.
Dan malam ini, aku memutuskan untuk tidur disana. Kembali kamar yang telah dua puluh dua tahun aku tiduri. Dan selama itu tidak ada yang berubah. Boneka boneka masa kecilku yang dibelikan Papah dan Mamah masih ada. Dan belum aku pindahkan.
Ketika membuka pagar, aku teringat betapa dulu aku sangat bahagia bersama mendiang Mamah dan Papah. Rumah ini dibangun dengan kerja keras mereka. Sampai Papah sakit sakitan dan akhirnya Mamah memutuskan menjualnya ke Paman. Memberikan semuanya kepada Paman. Dan tak lama, Mamah Papah pergi. Tak pernah kembali lagi untuk menjemputku. Mereka tenang, dan terlalu tenang di rumah terakhirnya.
Mataku memanas mengingat kejadian kejadian penting dalam hidupku. Dan sebagian besar terjadi disini. Dirumah ini. Aku gontai melangkah ke kamar. Merebahkan badan dikasur yang selalu aku rindukan. Tapi nanti tak bisa aku tiduri lagi. Paman menjual dengan sebagian isinya. Dan sungguh ini berat untuk aku lalui.
***

Seorang lelaki tua datang dengan tiba tiba. Menarik tanganku yang hendak mengambil gelas. Wajah dan tangannya penuh darah. Bau anyir menyengat. Membuat jantungku berdetak tidak beraturan. Aku berteriak. Meminta tolong. Tapi aku ingat, di lantai atas rumah ini, maupun dibawah tidak ada siapa siapa lagi. Rumah besar ini hanya dihuni aku seorang malam ini.
Aku menarik tanganku, berteriak histeris. Menangis. Takut. Sungguh. Wajahnya yang sudah keriput dipenuhi darah. Aku tidak mengenalinya. Tangannya yang dingin dengan kencang mencengkram tanganku. Darahnya menempel di tanganku.
Aku berlari ke bawah. Buru buru, jatuh. Bangun lagi. Tapi Pak tua itu lari lebih cepat. Menarik rambutku dengan kasar. Sekarang aku melihat lebih dekat wajahnya. Pucat, bibirnya biru saking pucatnya. Aku makin histeris. Lari. Dan jatuh.
****
Bunyi alarm membangunkanku. Aku terengah engah. Membuka mata, dan memandang sekitar. Syukurlah aku dikamar. Tapi siapa yang memindahkan aku? Aku segera berlari keluar kamar. 

Sepertinya semua baik baik saja. Dan aku hanya mimpi buruk.
Aku akan segera mandi. Membereskan semua boneka dan pergi ke Sawangan. Rumah baru paman.
Tanganku perih terkena sabun. Aku perhatikan, ada luka baret di pergelangan tangan. Aku yakin, kemarin tidak ada apapun yang membuat aku terluka. Kecuali mimpi semalam. Dan tangan ini, adalah tangan yang di cengkram orang itu dalam mimpi.
Aku buru buru menyelesaikan mandi. Bergegas agar cepat keluar dari rumah ini. Perasaan itu datang lagi. Takut. Gemetar. Dan ini yang tidak biasa. Aku mual. Bau anyir, bau busuk. Dan bau yang sangat mengganggu. Tapi aku tidak peduli. Hatiku dan tubuhku ingin cepat keluar dari rumah ini.
Aku membuka pintu kamar mandi. Melangkah dan seketika rasanya aku ingin pingsan. Ini bukan mimpi. Bukan. Lelaki tua itu meringkuk disamping pintu. Darah dimana mana. Aku Berteriak. Tapi urung karena lelaki itu memandangku. Tatapannya memelas.
“Tolong aku…”

Katanya lirih.
Dan kemudian semua gelap.
Aku merasa ada di dunia lain. Semua tampak aneh. Aku bigung kenapa aku ada disini. Sendiri. Malam terlalu gelap dan sepi. Aku mengenali jalanan ini. Mengenal betul daerah ini. Ini adalah kawasan yang akan di jadikan jalan tol Antasari-Depok. Semua rumah sudah rata dengan tanah. Kawasan ini jadi sepi mendadak saat terjadi penggusuran masal.

Pembangunan sudah mulai. Tapi ini mungkin sudah sangat larut. Hingga tidak ada satupun pekerja yang terlihat. Dari arah utara, datang mobil dengan cepat. Aku mengenal mobil itu. Itu mobil Paman. Saat lewat di depanku, aku melambai tangan. Memanggilnya. Tapi Paman sama sekali tak menggubrisku.
Tak lama terdengar suara klakson panjang. Bersamaan dengan suara ban yang berdecit. Teriakan. Dan aku lari secepatnya. Paman…. aku melihat paman bersimbah darah di luar mobil. Bukan darah paman. Tapi darah orang lain. Paman menabrak seseorang. Tetes pertama jatuh. Paman menangis. Aku hendak menolong paman dan orang itu. Tapi aku tidak bisa melakukan apa apa. Bahkan aku berteriak kencang meminta bantuanpun, Paman seperti tak mendengar.
Hujan turun. Deras. Paman melihat kondisi sekitar. Susah payah menggendong orang itu. Dan yaa Tuhan!! Orang itu orang tua yang bersimbah darah dirumah.
Paman memasukkan orang itu dalam mobil. Aku mengikutinya. Duduk di samping paman. Aku fikir Paman akan membawanya ke rumah sakit. Tapi tidak. Paman membawanya kerumah. 

Menguburnya di halaman belakang rumah. Menyamarkannya dengan tumpukan pot yang dijejer rapi.

Tuhan…. inikah sebabnya?

Perih Patung

​Aku masih tertahan disini. Ditempat yang seharusnya aku tidak ada. Tidak ada yang menahanku. Aku tahu itu. Tidak ada juga yang memintaku untuk tetap disini. Aku sadar itu.
Tapi, pria ini membuat aku lupa dimana seharusnya aku ada. Aku akan tetap mengabaikan para pendahuluku. Melanggar aturan main yang sedari dulu dipatuhi oleh moyangku. Biar saja. Seisi bumi mengutukku dengan tidak menerimaku lagi kalau aku sudah bosan disini. Karena aku yakin, aku tidak akan bosan disini.
Harusnya, aku hanya disini untuk beberapa hari. Menggodanya saja agar tidak pergi ke tempat suci bersama saudara dan keluarganya untuk mengikuti upacara dan mengambil air yang telah diberkati para Dewa. Tapi aku justru yang tidak ingin pergi darinya.
Beberapa hari ini, aku terus mengikutinya. Kemanapun dia pergi. Bahkan saat buang air kecil dan besar. Tapi aku tahu diri. Biar tidak ada yang melihatku pula, aku masih punya rasa malu. Walaupun sebenarnya bisa saja aku ikut masuk tanpa ada yang melarang.
Malam ini, aku memandanginya ketika tidur. Duhai Dewa…. pria ini begitu tampan. Kumis tipis, senyum manis dan wajahnya bening. Sebening porselen. Sungguh. Pantas saja para saudaraku was was ketika ketua memberiku tugas ini. Dan apa yang dikhawatirkan sudah terjadi. Aku tidak ingin kembali. Sampai aku menemukan cara bagaimana aku tetap bersamanya.
Aku membelai wajahnya. Lihat! Dia menggeliat. Sungguh mengagumkan. Aku menyentuh rambutnya. Dan dia sama sekali tidak terusik. Mungkin dia nyaman dengan sentuhanku. Ah!! Bodoh!! Bodoh… Bodooh….!! Dia, mana mungkin dia merasakan sentuhanku. Dasar bodoh!! Jika aku tepat ada di depan retinanya pun dia tidak akan melihat. Dan jika aku meniup dengan kencang telinganyapun dia tidak akan merasa. Bagaimanalah dia akan merasakan sentuhanku ketika dia tidur? Ah bodoh sekali aku.
Tunggu, dia terbangun. Mau apa? Mau buang air kecil? Eh tidak. Dia menuju ruang kerjanya. Dan aku bersorak girang. Dia sungguh sangat menawan ketika dia sedang memahat kayu.
Malam malam? Ah tidak peduli. Aku mengikutinya. Mendampingi langkahnya. Dan dia tidak keberatan. Tentu karena dia tidak melihatku. Andai dia melihatku? Bagaimana? Ah tidak. Aku cantik. Aku juga punya body yang aduhai. Aku yakin dia akan tertarik padaku andai saja aku juga… andai aku juga manusia. Sama seperti dirinya.
Aku tahu, malam ini dia pasti akan memahat. Aku tau karena dia mengambil alat pahat. Itu karena aku berhasil menggodanya. Membuat dia berat meninggalkan pekerjaannya. Oya, aku punya bakat menggoda. Bagaimana jika aku menggodanya untuk membuat pahatan mirip denganku? Iya, aku bisa.
Mudah saja. Aku tinggal komat kamit merapalkan mantra. Membuatnya berimajinasi nakal. Dan aku membaur dengan kayu yang akan ia pahat. Pria tampan ini, takkan kesulitan menemukan dan memahat wajahku di kayu ini. Iya, ide yang sangat bagus. Untuk mengujinya, bagaimana jika dia melihatku dengan nyata. Dan itu caranya.
Tapi, aku merasa sakit. Sekujur tubuhku perih. Seharusnya tidak. Karena aku bukan lagi makhluk yang bisa merasakan sakit. Kecuali, jika ketua benar benar marah dan langit bumi mengutukku.  Oh tidak, apakah ini benar kutukan? Sial, aku mencoba keluar dari sebongkah kayu ini. Tapi tidak bisa. Astaga!! Aku… aku benar benar tidak bisa kembali. Aku tidak bisa membebaskan diriku dari belenggu kayu. Sialan!!
Dia masih terus memahat kayu ini. Semakin lama semakin perih. Entah dia kesetanan apa! Tapi aku ingat, terakhir mantrakulah yang membuatnya menjadi pemahat gila.
Kumandang ayam berkokok. Entah apa yang terjadi semalam. Aku terbangun dengan putus asa. Aku tau, para moyangku murka. Dan sudah tidak ada tempatku untuk kembali sampai akhir.
Tunggu, tapi dia tersenyum padaku. Ah iya, benar. Pria tampan ini tersenyum padaku.
“Kau cantik sekali” 
Astaga, dia memujiku. Sungguh. Dia memujiku. Dan sekarang dia membopongku. Aduhai… jantungku… ah sungguh aku merasa malu. Dan amat bahagia.
“Coba sekarang kau berkaca. Kau amat cantik.  Siapa namamu?”
Aku terdiam. Menahan malu. Siapa namaku? Akankah dia tau? Oh…. sungguh. Sekarang aku bahkan tidak peduli tentang kutukan langit dan bumi. sentuhannya dan senyumnya sudah membuatku sungguh amat bahagia.
“Namamu, emm namamu se.. see… see-kar”
Tau betul dia namaku. Apa dia benar bisa melihatku? Ah tidak mungkin. Tapi aku juga tidak peduli.
Karena mulai hari ini, aku akan terus melihatnya. Dan membiarkannya menyentuhku. Jika iseng, aku akan sengaja menjatuhkan diri. Dan dengan segera, dia akan membantuku bangkit lagi. dia akan menyentuh tubuhku. Lagi, lagi, dan berkali kali.

Tentang Wajah

​<p>Rasanya, aku ingin terus seperti ini. Seperti waktu dulu kita pertama bertemu. Berdebar. Gugup. Dan berkeringat tanganku demi melihat matamu.</p>
<p>Semalam, aku temukan dirimu yang dulu. Yang membuat kulitku ingin begitu dekat denganmu. Menyentuhmu. Membelaimu. Dan menggenggam tenang jemarimu.</p>
<p>Sayangnya, kau terlelap. Lelah, sudah baikan dari sakit, mimpi indah? Atau? Entahlah aku tidak tau apa yang membuatmu selelap ini.</p>
<p>Aku termenung melihat wajahmu. Mendengar desah nafasmu. Dan sesekali igauanmu yang absurd. Wajahmu masih semanis dulu. Dan bibirmu masih sememposana waktu dulu kau membuatku mabuk asmara.</p>
<p>Wajahmu tegas. Kadang menjengkelkan. Ketika ingat betapa sering kau membuat aku menangis, rasanya aku ingin mencakar wajahmu. Biar hilang pesona yang mengikatku. Tapi, kembali melihat wajahmu aku luluh. Inilah wajah yang juga membuatku tersenyum. Wajah yang membuatku terharu. Dan wajah yang dari awal aku melihatnya selalu membuat aku rindu.</p>

Bicara Dengan Waktu (2)

Aku tidak tau, bagaimana aku harus mengawalinya. Untuk melupakanmu. Melupakan gadis kecil yang sekarang telah tumbuh dewasa. Bahkan telah menjadi ibu.
Aku pernah berkata, bahwa aku tidak ingin melupakanmu dengan terpaksa. Tapi akhir akhir ini, setelah ku lihat kau begitu bahagia dengan pasanganmu. Aku jadi ingin cepat melupakanmu. Mencari wanita yang bisa membuatku jatuh cinta, menikah, punyai anak. Dan aku bahagia. Sama seperti dirimu.
Tapi celakanya, aku selalu membandingkan wanita yang ku temui dengan dirimu. Melihat rambutnya, dan ku lihat belum ada yang menandingi indah rambut panjangmu. Sialnya, aku ingin wanita yang membuatku jatuh cinta adalah wanita yang seperti dirimu. Wajahnya, senyumnya, bicaranya, tingkahnya, rambut dan bahkan selera berpakaiannya aku ingin semirip mungkin denganmu.
Kau tau? Sekarang aku berada di dekat rumahmu yang dulu. Di pos tempat kita meneduh bertahun tahun lalu. Kau masih terlihat imut dengan seragam putih abu abu. Tempat pertama kalinya aku menyadari, bahwa perasaan ingin terus bersamamu itu bukan perasaan yang biasa. Perasaan yang tumbuh dari awal kita bertemu di sekolah menengah pertama. Dan hingga sekarang perasaan itu sepertinya masih ada.
Benar katamu, dan aku pikir dalam banyak hal katamu selalu benar. Setiap hari selalu ada perubahan dimana saja. Semakin hari akan semakin berubah. Tempat tempat yang sering kita lalui telah berubah. Drastis. Tak lagi sama seperti dulu. Dan kalau boleh mengatakannya sekali lagi. Ingin aku katakan langsung dihadapanmu. Semuanya berubah. Sama seperti dirimu yang berubah. Total. Tidak berkompromi dengan perasaan lelaki yang patah hati. Kau kejam. Sungguh. Bahkan untuk ukuran seorang teman.
Aku tau, mungkin amat menyebalkan mengingat seorang aku dalam kehidupanmu. Aku juga tidak ingin begini. Tidak punya cita cita untuk seperti ini. Sekarang usiaku dua puluh delapan. Masih lajang. Dan kau dua puluh delapan kurang beberapa bulan. Tapi kau sekarang sedang hamil anak ke dua.
Sungguh kau amat bahagia. Sedangkan aku masih berkutat dengan kenangan. Harapan yang entah bagaimana aku menjelaskannya. Aku ingin kau bahagia. Tapi keinginanku amat melukai perasaanku sebagai orang yang mencintaimu. Karna kau bilang, bahagiamu akan sempurna jika aku menghilang dari hidupmu.
Aku sudah menghilang. Tidak lagi menghubungimu selama setahun ini. Tapi aku tidak sanggup jika harus berhenti mengintip twittermu. Apalagi sekarang kaupun ada di instagram. Jangan tanya bagaimana aku menemukan akunmu. Kau tau? Aku pencari yang hebat. Pejuang yang hebat. Tapi demi kebahagiaanmu, aku mengaku kalah. Bahkan sebelum aku memperjuangkan perasaanku.

Tentang (Menjadi) Ibu

Sedikit dari sekian banyaknya, sekarang aku sudah mengerti. Mengapa Rasulullah gambarkan surga ada di telapak kakimu. Bukan pada selain darimu. Lelahnya menjadi dirimu sungguh tak akan bisa dijelaskan secara utuh. Kecuali dengan menjalankannya.

 

Dan selain dari yang menjalankannya, tidak akan benar benar mengerti jika hanya dengan teori. Tanganmu hanya dua, tapi dalam waktu yang sama kau bisa mengerjakan banyak tugas. Kakimu hanya dua, jika dibandingkan dengan pria jelas kakimu jauh lebih terlihat lemah dan ringkih. Tapi kakimu tahan lelah. Dan selelah lelahnya kakimu, masih tetap mampu berjalan sejauh yang diperlukan demi tanggung jawabmu. Demi peranmu sebagai ibu.

 

Aku tidak mengerti, mengapa malam ini aku begitu merindukanmu. Begitu ingin memelukmu. Dan bercerita tentang banyak hal yang aku alami selama aku jauh darimu. Tentang yang kau ceritakan dulu itu benar. Bahwa seorang ibu, dalam hatinya ada lautan kesabaran yang tak terhingga luasnya. Aku percaya, bahkan sebelum aku mengalaminya. Sebab kau telah menunjukannya padaku. Semarah apapun kau pada anakmu, sesebal apapun kau pada bapakku. Kau tetap menjalankan tugasmu sebagai istri dan ibu dengan amat baik. Bahkan dalam keadaan kau sakit sekalipun.

 

Bu, mungkin aku teramat rindu padamu. Biasanya, memasuki bulan Febuari, kau heboh menunggu tanggal kelahiranku. Kau terus menggodaku. Mengatakan bahwa kau tidak akan membelikan apapun. Tapi aku tidak pernah percaya itu. Aku tau, bahkan tidak pada tanggal kelahirankupun, kau tetap memberikan yang terbaik untukku. Memanjatkan doa paling tulus untuk anak anakmu.

 

Kau selalu bilang, ingin semua anak anakmu sehat. Kadang kau menangis mengucapkannya. Kau amat sedih melihatku sering jatuh sakit. Ditambah kakak dan adikku yang juga sering sakit. Bu, sekarang aku disini sehat. Aku tidak merasakan keluhan keluhan yang seperti dulu. Kakak juga sehat. Begitu juga si bontot. Semuanya sehat. Doamu pasti sudah sampai dilangit. Aku yakin, seisi bumi tak pernah tega melihat tangisanmu bu. Maka aku mohon padamu, jaga kesehatanmu selalu. Agar kau juga sehat seperti aku. Karena rasanya sangat sesak mendengar kau sakit disebrang sana.

 

Jika bukan karena jarak yang terlalu jauh, pasti sekarang aku sudah berlari. Tergesa gesa menujumu. Memelukmu. Dan menangis dipelukanmu.

Kecup,mu

Kecupmu adalah syarat untuk memasuki alam mimpi

Tanpanya, aku resah…

Melayang diantara batas sadar dan tidak

Meski mata tertutup lelap

Tapi hatiku meratap

Berharap kecupmu segera mendarat

Di keningku

 

Di segala penjuru, tubuhku tersentuh

Tanpanya,

Semua terasa ngilu

Sebab dari kecupanmu, terlahir hidup baru

Dan karenanya, segala luka jadi sembuh