Beberapa hari ini kampus sedang ramai membicarakan dua orang yang di kabarkan saling jatuh cinta. Sudah taaruf dan khitbah katanya. Tapi dia tidak percaya tentang hal atau desas desus yang dia dengar dari mulut ke mulut.
Dia yakin, bahwa kabar itu hanyalah gosip murahan dari mulut mulut yang tidak bertanggung jawab. Sama seperti dulu saat dirinya di gosipkan telah dilamar oleh orang yang sama, hanya karena sering terlihat bersama. Meskipun tidak pernah hanya berdua.
“Kak, sekarang banyak yang bilang kalau Kak Fatih udah khitbah Mba Ute. Bener Ka?
Yang di tanya hanya tersenyum. Di sertai tawa yang lain.
“Ciee bulan ini mau nikah”
Seorang pria yang juga temannya ikut nimbrung sambil meledek.
“Nanti Zizah patah hati deh”
Yang lain mengejek lagi.
Tapi Fatih hanya tersenyum tipis. Tidak mempedulikan ledekan dari temannya. Juga tidak menjawab pertanyaannya.
“Jadi, kita mulai saja diskusinya sekarang ya.”
Zizah menghela nafas kecewa. Pertanyaannya menggantung di udara setelah Fatih memutuskan untuk menyudahi obrolan ringan dan memulai diskusinya.
Sebulan berlalu. Kabar itu kembali mereda. Zizah merasa lega karena berarti kabar itu memang gosip belaka. Dia yakin, jikapun Fatih ada rencana menikahi wanita, pastilah dia akan di beri tau oleh Fatih sendiri. Tapi entah kenapa dia lebih yakin bahwa wanita yang bakal Fatih pilih adalah dirinya sendiri.
Minggu minggu ini dia merasa sulit untuk menemui Fatih. Whatsappnya jarang aktif. Di kampuspun jarang terlihat. Dan sore ini kata temannya Fatih akan datang. Diapun mengambil handphone dan membuka whatsapp.
Fatih online.
-sibuk?
-iya. Maaf ya.
-kapan ke kampus?
-ini udah di parkiran
Dia menghela nafas lega. Hatinya merasa lebih baik karena akan bertemu dengan Fatih.
-oya Zah. Aku mau cuti kuliah. Mau ke Bengkulu nanti.
-kapan?
-lusa mungkin
-ada acara apa?
-Orangtua Ute mau acara akad nikahnya disana. Tapi mungkin resepsinya di Jakarta.
Zizah merasa ada ledakan dalam hatinya. Dia merasakan tubuhnya tidak bertenaga setelah membaca pesan dari Fatih.
Masih ada jam kuliah. Harusnya dia berjalan dari kantin menuju kelas. Tapi dia malah menuju gerbang. Pulang.satu satunya hal yang bisa dia lakukan.
Dia berjalan tanpa melirik atau menghiraukan sapaan temannya.
Dia bertemu Fatih di jalan saat menuruni tangga.
“Zah, kenapa?”
Tapi dia hanya menatap kosong ke arah Fatih. Mulutnya terkunci.
“Zah, ada masalah?”
Airmatanya sekarang mengalir. Ziziah masih berdiri di depan Fatih. Mematung. Dan tidak mengerti harus apa atau bagaimana.
“Zah kalau ada masalah bisa cerita.”
“Masalahnya, Kak Fatih mau nikah sama Mba Ute.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Zizah pergi. Dan Fatih hanya terdiam. Sama terkejutnya dengan Zizah saat ini.
Di dalam angkot Zizah menerima whastapp dari Fatih. Tapi hanya dilihatnya saja. Tidak dibaca. Dia merasa apapun yang di tulis Fatih akan membuatnya menangis. Dan angkot ini bukan tempat yang baik untuk menangis.
Tetaplah berdoa, mungkin doa tidak bisa mengubah keadaan ini. Tapi Allah selalu mendengarkan.. Barangkali doa bisa mengubah perasaanmu. Menjadi lebih ikhlas.
Dia kembali mengulangi akhir kalimat yang baru saja dia baca. IKHLAS.
Barangkali dia memang harus mengikhlaskan segalanya. Mengalah pada takdir yang saat ini di rasa terlalu sepihak. Tapi dia tau betul bahwa tidak ada Takdir yang sepihak. Takdir sudah tertulis bahkan jauh sebelum dia mengenal sosok pria yang baru saja mengiriminya pesan singkat melalui whatsapp.
Allaah… Allaah…. Astaghfirullah…. Ya Allaah….
Gumamnya tiada henti. Tangannya memeluk erat lutut. Pipinya basah di linangi airmata. Dia terduduk disamping dipan dikamarnya.
Ikhlaas, ikhlas ya Allah ikhlas..
Tapi sekarang dia tidak mengerti apa itu ikhlas. Bahkan dia mulai ragu pada kata katanya sendiri yang selalu diucapkan pada temannya ketika berada dalam masalah.
Apakah benar takdir selalu baik? Tapi kenapa begini ya Allaah…
Airmatanya tak henti mengalir. Dengan erat dia mencengkram ujung roknya. Dia tau ini bukan mimpi. Tapi dia berharap ini adalah mimpi. Hanya sebatas mimpi buruk.
Didengarnya sebuah ketukan pintu. Tapi dia sedang tidak ingin bertemu siapapun. Dan apapun alasannya. Tapi pintu itu terus diketuk. Bahkan lebih dari tiga kali. Padahal di pintu kamar kosnya tertulis jelas “Jika tiga kali ketukan belum dibuka, berarti orangnya tidak ada”.
Dia bangkit, membenahi kerudungnya. Mengelap pipinya. Memasang senyum sebisanya. Walaupun dia tau, orang yang melihatnya pasti akan tau. Bahwa dia telah menangis.
”Zizah…”
Dia cukup kaget melihat sosok wanita yang seharusnya ada di kampus tapi saat ini ada di depan kamar kosnya. Memanggil namanya.
“Ulfa, bukannya sekarang jam kuliah?”
Dia berusaha untuk menormalkan suaranya. Tapi tidak bisa. Terlebih saat melihat sosok yang datang adalah karibnya sendiri. Dia ingin segera memeluknya. Menangis dalam pelukannya. Dan menceritakan semuanya. Tentang menghadapi takdir yang ternyata tidak semudah mengatakannya. Dan tentang ikhlas yang ternyata amat sulit menjalankannya.
Setelah mempersilahkan masuk dia duduk di ranjangnya. Begitu juga dengan karibnya. Mereka berdua hening. Tak ada yang membuka pembicaraan. Barangkali karibnya tau tentang apa yang sedang terjadi. Takdir yang baik sedang terjadi, tapi karena sekelumit perasaan semua jadi terasa menyakitkan. Padahal di tempat yang lain yang jauh dari jangkauannya, orang lain sedang berbahagia. Menikmati takdirnya.
“Dosen ngga masuk. Jadi aku pulang lebih awal.”
Ulfa memecah keheningan denga suaranya. Zizah hanya mengangguk tanpa bersuara. Sebelum sunyi menguasai mereka lagi, Ulfa mengambil selembar undanga dari tasnya.
“Dapet titipan dan Kak Fatih”
Airmatanya kembali mengalir. Kali ini tidak dia hentikan. Dia biarkan airmatanya tumpah. Zizah mengerti titipan apa yang sahabatnya maksud. Dia membiarkan kesedihannya ikut tumpah bersama airmata.
“Aku udah berubah, karena dia Ul. Aku lakuin apa yang dia bilang baik. Nasehatnya, kata katanya, hampir semuanya aku lakuin. Dia bilang wanita lebih baik pakai rok, atau gamis. Oke, aku nggak lagi pakai celana jeans. Dia bilang kalau kerudung harus nutup dada. Akupun berubah. Aku jalanin nasehatnya. Dan kamu liat sendiri perubahannya Ul. Tapi kenapa begini?”
Dia menangkupkan telapak tangannya ke dalam wajah. Enggan menatap karib yang duduk disampingnya. Keduanya kembali terdiam. Memberikan jeda untuk Zizah menenangkan hatinya.
“Yang terjadi sekarang ini, bukan salah Kak Fatih. Bukan juga salah takdir. Sesuatu yang bukan takdirmu tidak akan terjadi walaupun kamu setiap hari berdoa untuk meminta. Bukan karena Allah ngga tau kemauan kamu Zah. Tapi karena bukan itu yang terbaik buat kamu”
Ulfa memeluk karibnya. Membiarkan kerudungnya basah terkena airmata.
“Ini memang berat Zah, tapi Kak Fatih juga nggak pernah janjiin kamu apa apa. Dia Cuma jawab apa yang kamu tanyain, dan ngasih apa yang kamu butuhin. Nasehat, dukungan, motivasi dan pelajaran. Itu yang dia kasih. Tapi kamu menanggapinya dengan sudut yang berbeda.”