Nyaman

Nyaman adalah satu kata yang tidak bisa dibeli. Tidak bisa di uangkan. Nyaman adalah satu kata yang paling dicari dalam suatu hubungan, pekerjaan dan bahkan kehidupan. Kadang nyaman itu, jadi syarat wajib untuk melakukan suatu pekerjaan.

 

Tapi nyaman itu sendiri apa sih sebenernya? Kalo versi gue sih ya, nyaman itu seperti bayi yang ketika rewel, terus di peluk sama kita, dan tiba tiba dia tenang, terus tidur dengan sendirinya.

 

Seperti kejadian yang pagi tadi saya alami, di rumah baru saya terbilang cukup banyak balitanya. Bahkan jika sedang kebetulan berkumpul di depan rumah, rasa rasanya udah kayak posyandu aja. Keberatan? Enggak sih, kadang malah gue berfikir suatu saat nanti gue pengen kayak mereka. Ngumpul, ngobrol sana sana, ngrumpi ga jelas, atau asik ngobrol tentang kerewelan anaknya ketika malem. But, itu suatu saa nanti. Soalnya sekarang gue belum bunting, jadi ya rasanya kaku aja gitu. Atau tepatnya, gue menjaga hati supaya nggak cemburu ketika emak emak lain pada gendong anaknya.

 

Gini, jadi tadi pagi ada baby Haidar. Putih, sipit, pipau (cabi) dan gemeshiiin deh pokoknya. Nah ceritanya, dia itu lagi rewel. Muntah muntah, sama panas gitu. Dari malem ngga tidur tidur. Karena kebetulan nganggur, jadi gue ajak tuh, gue gendong. Eh, baby Haidar langsung nempelin wajah ke dada, dan doi nangis goceh gitu manggil manggil mama. Karena merasa ni baby minta ikut mamanya, jadi gue balikin. Tapi ternyata baby Haidar ngga mau. Doi, malah melek gue makin kenceng. Kata mamanya sih, doi ngrasa nyaman sama gue. Jadi gitu.

 

Akhirnya gue elus kepala baby Haidar, maksudnya buat nenangin dia. Dan bener aja, baby Haidar langsung tidur. Dikira udah pules, diambil sama mamanya, dan baby Haidar nangis lagi. Karena ngga tega, gue gendong lagi, dan doi tidur lagi. Oke, jadi kali ini gue bilang sama mamanya, biar aja deh. Biar baby Haidar bener bener pules.

 

Dan setelah kurang lebih lima belas menit, baby Haidar gue kasih ke mamanya. Dan, dia bangun, nangis lagi. Oke, mungkin doi lagi pengen sama gue. Akhirnya ya gue gendong lagi. Gue duduk, dan ngobrol sana sini sama mamanya. Karena merasa sudah setengah jam berlalu, dan gue mesti beres beres rumah, gue serahkan lagi ke mamanya. Wah, baby Haidar ngga bangun. Akhirnya gue masuk rumah, buka pintu, dan baby Haidar nangis lagi. Huhuhu… segitu nyamannya kah dia sama gue? Entahlah hanya doi yang tau.

 

Emang sih, kalo dah nyaman tuh susah. Ga pengen pindah lain hati. Iyakan??

Tentang Kehilangan

Waktu aku kecil, aku pernah menangis karena kehilangan uang saku yang di berikan Ibu. Dan di waktu lain, aku menangis karena kehilangan baju yang paling aku suka. Waktu di jemur hilang begitu saja. Diambil orang lewat, pengemis, atau entah siapa. Aku menangis berhari hari, meminta baju yang sama pada Ibu. Karena tidak tahan mungkin, akhirnya ibu mengajakku ke toko yang sama ketika aku membeli baju itu. Sayangnya, baju yang aku mau itu sudah tidak ada lagi. Ibu memintaku memilih yang lain. Tapi kemudian aku malah menangis, Aku tidak mau baju lain. Lalu Ibu mengatakan padaku, bahwa dia akan marah jika aku terus merengek dan menangis karena meminta baju yang sama.

Aku mau baju yang sama bu, aku tidak mau yang lain. Kataku sambil menahan tangis.

Tapi baju yang seperti itu sudah tidak ada. Kalau kamu terus menangisi baju itu, kamu bisa bikin Ibu marah. Nak, banyak baju yang lebih bagus. Baju itu hilang, supaya kamu bisa dapet yang lebih bagus lagi. Jadi Ibu minta, jangan menangis. Kata Ibu membujukku.

Hari itu, aku di belikan baju yang memang lebih bagus. Warna hitam dan bermotif bunga. Setelahnya aku berfoto mengenakan baju tersebut.

 

Sebenarnya aku sudah tidak ingat dengan kejadian itu. Tapi hari ini, dengan tidak sengaja ake menemukan foto masa kecilku. Masa kecil yang terkadang amat aku rindukan. Dimana aku tidak merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.

 

Kehilangan apapun mudah dilupakan. Ketika beranjak dewasa, aku kehilangan airmata. Iya, airmataku seakan habis hari itu. Hari dimana aku menuntun Ibu mengucapkan dua kalimat suci yang akhirnya mengantarkan Ibu pulang. Pulang ke dalam pelukan Tuhan.

Ibu pergi, tanpa mengatakan sepatah katapun padaku. Ketika ia bangun, ia hanya memintaku menuntunnya mengucapkan dua kalimat suci dan tidak ada yang lain. Aku kadang merasa aneh. Kenapa kepergian Ibuku tidak seperti kepergian orang lain yang meninggalkan pesan atau wasiat apapun. Yang aku ingat hanyalah seminggu sebelum kepergiannya. Waktu itu ia menyuapiku sepotong buah mangga. Dan setelah itu ia tidur, bangun sebentar dan tak pernah bangun lagi hingga saat ini.

 

Aku juga bingung, kenapa aku tidak bisa menangis ketika Ibu pergi. Jangan tanya bagaimana rasanya. Aku bahkan tidak bisa mengataka sepatah katapun bagaimana sakitnya. Aku berfikir keras bagaimana caranya untuk menangis, tapi tetap tidak bisa-

Rahasia

Ketika kita tidak mampu bicara, sebab terlampau berat kecewanya.

Ketika kita terlalu marah, bahkan sampai airmata enggan untuk keluar.

Bahkan saking sakitnya, saking lelahnya kita hanya bisa menjadikannya rahasia.

Mengurungnya jauh jauh dalam hati, sebab selainnya tidak ada yang bisa menampung kemurkaannya.

Menuju ( kehancuran ) Sempurna

Satu bulan kebelakang adalah hari hari yang berat bagi saya. Dan mungkin sejauh ini, inilah titik terberat dan titik terlemah dari hidup saya. Berhenti dari pekerjaan, di telfon bapak karena mama sakit, yang ujung ujungnya mengharuskan saya berangkat ke Depok. Selisih pendapat dengan suami, keponakan sakit, keuangan yang ada di titik paling bawah, sampai akhirnya saya di hadapkan dengan kenyataan, bahwa mama telang berpulang ke Rahmatullah. Saya merasa di titik itu benar benar di uji kesabarannya.

 

Selepas kepergian mama, entah kenapa saya ngrasa jadi lebih sering bertengkar dengan suami. Saya sepenuhnya sadar, emosi saya lagi ngga stabil. Stress berat. Di tambah capek pikiran, dan juga badan. Dan disaat seperti ini saya ngerasa, suami saya kurang peduli dengan keadaan saya. Dan ujungnya saya ngerasa saya sendiri. Sehari, dua hari, dan semakin kesini berantem itu kayak jadi ritual harian. Awalnya, sala satu dari kita ada yang mau buat ngalah, sampe akhirnya dua duanya jadi batu yang kapan saja bisa pecah ketika di adu.

 

Menurut egoisnya saya, saya itu sangat membutuhkan pengertian yang lebih dari suami saya. Dia harusnya ngerti kondisi saya yang sedang mengalami fase berat dalam hidup. Jadi, menurut saya wajar dong kalo saya sekarang membutuhkan dia untuk mengerti perasaan saya? Wajar dong kalo saya muda marah dan tersinggung? Kan saya lagi stress. Dan yang saya lupa adalah, suami saya juga lelah bekerja. Lelah ngurus pengajian tiap malam, lelah menggantikan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya saya kerjakan. Karena saya merasa harusnya dia begini dan begitu kepada saya, akirnya saya lupa dia juga butuh saya.

 

Karena diamnya saya itu menuntut. Jadi saya lupa sebenarnya kapan saja dia juga bisa menuntut saya untuk menjalankan tugas tugas istri seperti biasanya. Tapi dia justru mengerjakan semuanya, tanpa meminta bantuan apapun kepada saya. Dan di tambah dengan pekerjaannya yang pasti menguras tenaga dan juga pikiran. Jadi sebenernya wajar juga sih kalo dia pengen saya ngertiin. Wajar juga kalo dia mudah marah dan tersinggung.

 

Saya jadi mengerti, ketika saya menuntut orang lain yang bahkan dia adala orang terdekat saya sendiri untuk sepenuhnya mengerti kemauan hati saya, yang padahal hanya Gusti Allah saja yang tau karena saya tidak pernah mengungkapkannya. Itu sama halnya dengan saya menuntun hubungan saya ke dalam kehancuran. Sama saja menceburkan diri saya ke lubang kekecewaan.

Kebahagiaan dan Keuangan Dalam Rumah Tangga

Jika tidak bisa membahagiakan istrimu, maka berusaha melebihkan hartamu.


Begitu kira kira wejangan yang diberikan Tante Yani kepada suami saya. Dia mengatakan demikian berdasarkan pengalaman pribadi, katanya. Dan saya lumayan setuju dengan kalimat tersebut.
Kenapa?
Sebab salah satu kebahagiaan istri ada pada harta. Tapi harta hanya salah satunya dari sekian banyak perbandingannya. Sebab memang ada yang tidak bisa disamakan atau bahkan dibeli dengan harta. Misal; kesantunan, kesetiaan, kelembutan, dan kejujuran suami terhadap istri.
Karena ada banyak kasus dimana pasangan suami istri yang memiliki harta melimpah, tapi justru kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Dan beberapa penyebabnya seperti suami yang tidak setia, suami yang galak dan suka memukul, atau suami yang tidak bisa menghargai posisi istri dalam rumah tangga.
Dan ada juga beberapa wanita yang hanya bisa di bahagiakan dengan harta. Tak peduli bagaimana perlakuan suaminya di luar sana. Yang penting kebutuhan duniawinya tercukupi.
Sebagai istri jujur saja, saya pernah merasa betapa susah hidup dengan uang (penghasilan) yang pas pasan. Setiap pasangan suami istri yang pernah mengalami krisis ekonomi mungkin pernah merasakan apa yang saya rasakan. Bukan perasaan marah, tapi perasaan sedih yang tidak bisa dikatakan. Karena memang suami sudah berusaha maksimal dan itulah hasilnya.
Dan keadaan itu membuat saya sadar, kebahagiaan atau keharmonisan rumah tangga 70% kuncinya ada pada istri. Jika diberi rejeki sedikit tetapi istri nerima dengan ikhlas dan tetap memberi yang terbaik pada suami, InsyaAllah seberapapun penghasilannya rumah tangga akan tetap adem ayem tanpa pertengkaran.
Tapi sikap nerima, dan ikhlasnya seorang istri juga tergantung bagaimana suami mengajarkan istri untuk tetap bersyukur, bersyukur dan tetap bersyukur.

Pengalaman Dengan BPJS Mandiri

Sudah lama ya ga nulis? Iya lama banget rasanya. Dan selama itu, saya merasa emosi saya meledak ledak karena tidak tersalurkan. Saya sibuk, kerja, bolak balik Depok – Tegal. Dan ditambah aktivitas kerja saya yang sampai 10 jam. Ah,, sudah!! Saya mau nulis tentang BPJS. Bukan mau curhat! Walaupun ujungnya ini curhat curhat juga.
Jadi begini, Gusti Allah lagi sayang banget sama keluarga saya.
Pada tanggal 13 Agutus, mama saya tidak sadarkan diri. Seminggu sebelumnya mama sudah mengeluh sakit dan dibawa ke Rumah Sakit Swasta di Jakarta Selatan. Mama di nyatakan sehat. Katanya mungkin hanya butuh istirahat. Mama di beri obat, tapi tidak ada perubahan. Akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa mama pulang ke Tegal. Dan dalam perjalanan, mama mulai tidak sadarkan diri.
Tanggal 14 Agustus, mama di bawa ke Rumah Rakit Daerah Tegal dalam keadaan tidak sadar. Setelah dilakukan pemeriksaan darah, hasilnya sama dengan pemeriksaan rumah sakit di JakSel. Semua baik baik saja. Gula darah, tensi, asam urat, dll. Akhirnya dokter menyarankan untuk CT Scan. Dan kami menyetujuinya.
Tidak lama setelah pemeriksaan, hasilnyapun keluar. Dokter menyatakan mama ada radang di otak. Untuk waktu yang tidak bisa di tentukan, mama mungkin akan tidak sadarkan diri. Mama mesti di tempatkan di ruang ICU.
Ketika kami sedang berunding, salah seorang suster mendatangi kami. Dan menyarankan kami untuk membuat BPJS karena kemungkinan besar mama akan di rawat dengan biaya yang tidak sedikit. Kami mulai was was. Karena kami kwatir dengan pelayanannya. Takut, nanti perawatan mama malah jadi di anak tirikan atau di nomor duakan.
Akhirnya saya bertanya kepada suster tentang apa bedanya obat yang di bayar melalui BPJS dan UMUM. Tapi suster tersebut meyakinkan saya, bahwa mulai dari obat dan pelayanan tidak akan di bedakan. Akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk membuat BPJS. Dan alhamdulillah semua di mudahkan.
Setelah mama pindah dari UGD ke ICU, saya mulai bawel bertanya sana sini. Menanyai banyak pasien lain tentang pengalamannya dengan BPJS. Ya tentu beragam ceritanya. Baik ada, burukpun ada.
Sehari disana, saya di buat mangkel oleh suster jaga ruang ICU. Dari jam 08.00 sampai 11.00 keluarga tidak di ijinkan masuk ke ruang ICU. Dan setelah masuk saya lihat selang infus mama bocor. Darah dan infus sudah banyak di lantai. Saya memanggil suster. Tapi sungguh, responnya sangat lambat. Setelah saya agak kesal barulah seorang dari mereka datang. Dan sayapun protes.
Sus, ini kok bisa begini. Mama ga di cek ya kondisinya.

Dan dengan santai susternya menjawab;

Ga di  cek gimana? Barusan aja dari sini.

Saya sangat jengkel dengan jawabannya. Saya sedikit meninggikan suara;

Barusan? Sus kalo barusan dari sini, ini darah ga banyak sus. Ini darahnya banyak, berarti udah lama. Dari tadi! Bukan barusan!!


Suster tersebut hanya diam dan memperbaiki selang infus mama. Saya sempat berfikir apa ini karena saya pakai BPJS? Tapi ternyata tidak juga. Saya gak tau apa namanya. Saya cuma nyebutnya perawat cowok. Disana semua ramah. Hanya saja memang suster (perawat cewek) itu juteknya naudzubillah. Itu yang jaga ICU. Di ruang lain mungkin tidak begitu. Waktu di UGD juga gak begitu sih. 

Sampai hari ke 7 mama koma. Sore harinya, mama kritis. Monitor yang tersambung dengan tubuh mama, (aduh bagian ini saya keliatan katroknya yak! Ga tau apa namanya jadi saya tulis sebisanya) bunyi. Sebuah peringatan mungkin. Detak jantungnya bisa sampai 175. Saya panik. Dan saya memanggil suster. Dan lagi, saya harus menahan jengkel pada perawat wanita. Karena dalam keadaan genting sekalipun mereka hanya melirik. Melanjutkan aktivitasnya. Dan tidak peduli pada panggilan saya. Sumpah saya enek!!
Akhirnya saya memanggil perawat cowok. Dan mereka tanggap. Sampai mama dinyatakan meninggal dunia. Saya lihat, perawat wanita itu hanya sibuk sendiri. Dan sumpah saya dongkol!!
Saya ngga tau apa karena saya pasien BPJS atau bukan. Tapi sebelumnya saya memang sudah memperhatikan bedanya pasien BPJS dan UMUM. Saya lupa menuliskannya di awal. Sewaktu di UGD mama mesti nunggu ruang kosong di ICU. Saya ngga tau itu prosedurnya apa gimana. Tapi di hari mama diminta menunggu di UGD, hari itu ruang di ICU itu banyak yang kosong. Saya tau, setelah mama sudah di ICU. Saya bertanya pada penunggu pasien sebelah.

BPJS atau UMUM, sejauh ini saya menilainya memang tergantung dokter dan perawatnya. Bukan tergantung pada BPJS atau UMUMnya. Karena bagaimanapun saya berterimakasih pada BPJS karena telah meringankan beban kami se keluarga. Apalagi kami membuat BPJS dengan sangat dadakan. Dan alhamdulillah semuanya lancar. Sehari langsung aktif.

Dan saya akui, biaya mama selama di Rumah Sakit tidaklah sedikit. Tapi semuanya benar benar di tanggung BPJS yang belum pernah kami membayarnya sekalipun.

Tuhan dan Mamak

Sehari sebelumnya, aku bertanya kepadaMu ” Tuhan, kemana Kau bawa mamak? Sejak seminggu lalu ia tertidur, sampai sekarang tak bangun juga.”

Aku bertanya, belum juga seharian. Kau sudah menjawabnya. ” Mamakmu itu, sedang di jemput Izroil, mamakmu sedang di nanti Munkar dan Nankir”

 Aku pikir, Kau hanya bercanda. Ngetes, seberapa banyak airmata yang aku keluarkan jika mamak benar benar Kau bawa. Satu, dua, dan tiga jam. Aku sadar, saat itu Kau serius.
Maaf Tuhan, aku sempat berharap. Keajaiban datang seperti dalam film, sinetron, drama atau apalah yang pernah aku lihat di televisi. Misalnya, tubuh mamak yang diselimuti kain jadi bangun lagi setelah di lompati kucing. Atau mama tiba tiba terjaga saat aku sedang ngaji di sampingnya. Ah tapi Kau benar benar serius.
Tuhan, barangkali malaikatMu salah paham padaku. Mengira aku tak rela jika mamak di jemput Izroil. Atau ditanyai munkar dan nankir. Bukan. Aku rela. Biar mamak diantarkan pada pelukanMu. Biar mamak bahagia di dekatMu.
Aku hanya menyesal. Merasa seumur hidupnya mamak, aku belum memberinya apa apa. Aku tak membuat hidupnya bahagia. Aku selalu membuat pikirannya was was. Aku menangis untuk itu. Untuk segala ketidak mampuanku membahagiakannya. Untuk banyak waktu yang aku gunakan tidak untuk mengabdi padanya. Itu saja…
Katanya, jika aku menangis langkah mamak jadi berat. Aku benar benar berusaha keras untuk tidak menangisi kepergiannya. Tapi tidak bisa tidak menangis. Mengingat betapa tidak berbaktinya aku sebagai anak.

Aku bukannya meratapi mamak. Bukan Tuhan. Kau Maha Mengerti kan? Tentu Kau tau. Aku hanya menyesali…

Tiada

Yang datang dari Tuhan, akan kembali pada Tuhan.

Kita terlahir dengan tidak membawa apa apa, dan pada waktunya, Tuhan akan menjadikan kita bukan apa apa. 

Aku percaya. Kalian mesti percaya.

Bahwa pada akhirnya kita semua akan tiada.

Sombong, iri bahkan dengki. Semuanya akab tiada. Sia sia.

Rindu

 

 Di suatu jalan aku terhenti

Menatap taman dan tempat yang biasa kau duduki

 

Di suatu waktu

Saat aku berjalan sendiri

Aku melihat wajahmu

Diantara kesibukan kota yang aku lewati

 

Aku merasa resah

Ketika ku dapati malam

Dan wajahmu tergantung disana

Tersenyum diantara awan hitam

 

Diantara sinar pagi yang menyilaukan

Aku dapat melihat

Terang sorot matamu yang berkilat

Salah Rasa

 

Beberapa hari ini kampus sedang ramai membicarakan dua orang yang di kabarkan saling jatuh cinta. Sudah taaruf dan khitbah katanya. Tapi dia tidak percaya tentang hal atau desas desus yang dia dengar dari mulut ke mulut.

Dia yakin, bahwa kabar itu hanyalah gosip murahan dari mulut mulut yang tidak bertanggung jawab. Sama seperti dulu saat dirinya di gosipkan telah dilamar oleh orang yang sama, hanya karena sering terlihat bersama. Meskipun tidak pernah hanya berdua.

“Kak, sekarang banyak yang bilang kalau Kak Fatih udah khitbah Mba Ute. Bener Ka?

Yang di tanya hanya tersenyum. Di sertai tawa yang lain.

“Ciee bulan ini mau nikah”

Seorang pria yang juga temannya ikut nimbrung  sambil meledek.

“Nanti Zizah patah hati deh”

Yang lain mengejek lagi.

Tapi Fatih hanya tersenyum tipis. Tidak mempedulikan ledekan dari temannya. Juga tidak menjawab pertanyaannya.

“Jadi, kita mulai saja diskusinya sekarang ya.”

Zizah menghela nafas kecewa. Pertanyaannya menggantung di udara setelah Fatih memutuskan untuk menyudahi obrolan ringan dan memulai diskusinya.

Sebulan berlalu. Kabar itu kembali mereda. Zizah merasa lega karena berarti kabar itu memang gosip belaka. Dia yakin, jikapun Fatih ada rencana menikahi wanita, pastilah dia akan di beri tau oleh Fatih sendiri. Tapi entah kenapa dia lebih yakin bahwa wanita yang bakal Fatih pilih adalah dirinya sendiri.

Minggu minggu ini dia merasa sulit untuk menemui Fatih. Whatsappnya jarang aktif. Di kampuspun jarang terlihat. Dan sore ini kata temannya Fatih akan datang. Diapun mengambil handphone dan membuka whatsapp.

Fatih online.

 

-sibuk?

-iya. Maaf ya.

-kapan ke kampus?

-ini udah di parkiran

Dia menghela nafas lega. Hatinya merasa lebih baik karena akan bertemu dengan Fatih.

-oya Zah. Aku mau cuti kuliah. Mau ke Bengkulu nanti.

-kapan?

-lusa mungkin

-ada acara apa?

-Orangtua Ute mau acara akad nikahnya disana. Tapi mungkin resepsinya di Jakarta.

 

Zizah merasa ada ledakan dalam hatinya. Dia merasakan tubuhnya tidak bertenaga setelah membaca pesan dari Fatih.

Masih ada jam kuliah. Harusnya dia berjalan dari kantin menuju kelas. Tapi dia malah menuju gerbang. Pulang.satu satunya hal yang bisa dia lakukan.

Dia berjalan tanpa melirik atau menghiraukan sapaan temannya.

Dia bertemu Fatih di jalan saat menuruni tangga.

“Zah, kenapa?”

Tapi dia hanya menatap kosong ke arah Fatih. Mulutnya terkunci.

“Zah, ada masalah?”

Airmatanya sekarang mengalir. Ziziah masih berdiri di depan Fatih. Mematung. Dan tidak mengerti harus apa atau bagaimana.

“Zah kalau ada masalah bisa cerita.”

“Masalahnya, Kak Fatih mau nikah sama Mba Ute.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Zizah pergi. Dan Fatih hanya terdiam. Sama terkejutnya dengan Zizah saat ini.

 

Di dalam angkot Zizah menerima whastapp dari Fatih. Tapi hanya dilihatnya saja. Tidak dibaca. Dia merasa apapun yang di tulis Fatih akan membuatnya menangis. Dan angkot ini bukan tempat yang baik untuk menangis.

Tetaplah berdoa, mungkin doa  tidak bisa mengubah keadaan ini. Tapi Allah selalu mendengarkan.. Barangkali doa bisa mengubah perasaanmu. Menjadi lebih ikhlas.

Dia kembali mengulangi akhir kalimat yang baru saja dia baca. IKHLAS.

Barangkali dia memang harus mengikhlaskan segalanya. Mengalah pada takdir yang saat ini di rasa terlalu sepihak. Tapi dia tau betul bahwa tidak ada Takdir yang sepihak. Takdir sudah tertulis bahkan jauh sebelum dia mengenal sosok pria yang baru saja mengiriminya pesan singkat melalui whatsapp.

Allaah… Allaah…. Astaghfirullah…. Ya Allaah….

Gumamnya tiada henti. Tangannya memeluk erat lutut. Pipinya basah di linangi airmata. Dia terduduk disamping dipan dikamarnya.

Ikhlaas, ikhlas ya Allah ikhlas..

Tapi sekarang dia tidak mengerti apa itu ikhlas. Bahkan dia mulai ragu pada kata katanya sendiri yang selalu diucapkan pada temannya ketika berada dalam masalah.

Apakah benar takdir selalu baik? Tapi kenapa begini ya Allaah…

Airmatanya tak henti mengalir. Dengan erat dia mencengkram ujung roknya. Dia tau ini bukan mimpi. Tapi dia berharap ini adalah mimpi. Hanya sebatas mimpi buruk.

Didengarnya sebuah ketukan pintu. Tapi dia sedang tidak ingin bertemu siapapun. Dan apapun alasannya. Tapi pintu itu terus diketuk. Bahkan lebih dari tiga kali. Padahal di pintu kamar kosnya tertulis jelas  “Jika tiga kali ketukan belum dibuka, berarti orangnya tidak ada”.

Dia bangkit, membenahi kerudungnya. Mengelap pipinya. Memasang senyum sebisanya. Walaupun dia tau, orang yang melihatnya pasti akan tau. Bahwa dia telah menangis.

”Zizah…”

Dia cukup kaget melihat sosok wanita yang seharusnya ada di kampus tapi saat ini ada di depan kamar kosnya. Memanggil namanya.

“Ulfa, bukannya sekarang jam kuliah?”

Dia berusaha untuk menormalkan suaranya. Tapi tidak bisa. Terlebih saat melihat sosok yang datang adalah karibnya sendiri. Dia ingin segera memeluknya. Menangis dalam pelukannya. Dan menceritakan semuanya. Tentang menghadapi takdir yang ternyata tidak semudah mengatakannya. Dan tentang ikhlas yang ternyata amat sulit menjalankannya.

Setelah mempersilahkan masuk dia duduk di ranjangnya. Begitu juga dengan karibnya. Mereka berdua hening. Tak ada yang membuka pembicaraan. Barangkali karibnya tau tentang apa yang sedang terjadi. Takdir yang baik sedang terjadi, tapi karena sekelumit perasaan semua jadi terasa menyakitkan. Padahal di tempat yang lain yang jauh dari jangkauannya, orang lain sedang berbahagia. Menikmati takdirnya.

“Dosen ngga masuk. Jadi aku pulang lebih awal.”

Ulfa memecah keheningan denga  suaranya. Zizah hanya mengangguk tanpa bersuara. Sebelum sunyi menguasai mereka lagi, Ulfa mengambil selembar undanga dari tasnya.

 

“Dapet titipan dan Kak Fatih”

Airmatanya kembali mengalir. Kali ini tidak dia hentikan. Dia biarkan airmatanya tumpah. Zizah mengerti titipan apa yang sahabatnya maksud. Dia membiarkan kesedihannya ikut tumpah bersama airmata.

“Aku udah berubah, karena dia Ul. Aku lakuin apa yang dia bilang baik. Nasehatnya, kata katanya, hampir semuanya aku lakuin. Dia bilang wanita lebih baik pakai rok, atau gamis. Oke, aku nggak lagi pakai celana jeans. Dia bilang kalau kerudung harus nutup dada. Akupun berubah. Aku jalanin nasehatnya. Dan kamu liat sendiri perubahannya Ul. Tapi kenapa begini?”

Dia menangkupkan telapak tangannya ke dalam wajah. Enggan menatap karib yang duduk disampingnya. Keduanya kembali terdiam. Memberikan jeda untuk Zizah menenangkan hatinya.

“Yang terjadi sekarang ini, bukan salah Kak Fatih. Bukan juga salah takdir. Sesuatu yang bukan takdirmu tidak akan terjadi walaupun kamu setiap hari berdoa untuk meminta. Bukan karena Allah ngga tau kemauan kamu Zah. Tapi karena bukan itu yang terbaik buat kamu”

Ulfa memeluk karibnya. Membiarkan kerudungnya basah terkena airmata.

“Ini memang berat Zah, tapi Kak Fatih juga nggak pernah janjiin kamu apa apa. Dia Cuma jawab apa yang kamu tanyain, dan ngasih apa yang kamu butuhin. Nasehat, dukungan, motivasi dan pelajaran. Itu yang dia kasih. Tapi kamu menanggapinya dengan sudut yang berbeda.”