Bagianku, kamu.

Karena aku anggap, kau adalah bagian dariku. Kebaikanmu berarti juga kebaikanku. Kelangsungan hidupmu, tersambung dengan kedamaianku. Aku tak memintamu percaya itu. Pernah kau dengar, aku khawatir ketika tak baik keadaanmu. Aku sedih, saat tau sakit badanmu. Aku menangis, ingin disampingmu, saat kau kata lelah pikiranmu.
Lanjutkan membaca “Bagianku, kamu.”

Rindu

Samar ku lihat kau ada di ujung jalan sana,
Ku pandang,
Dan ke lepas kacamata,
Mungkin aku rabun atau entah kenapa,
Tak ku temukan kau lagi di ujung sana..
Ku pakai kacamata, dan kau masih tetap tiada.
Lanjutkan membaca “Rindu”

Yang Aku Tau,

Pernah ku bilang, “Jangan jatuh cinta padaku, kecuali engkau menyanggupi untuk menghadap ibu bapak.”
Dan kaupun menghadapnya, membawa ibumu malam itu.
Pernah aku katakan, “Biaya hidup denganku mahal, aku manja.” Dan tanpa aku minta, kau menyanggupinya.
Bukan kau mengatakannya padaku, tapi kau memperlihatkan semuanya di depanku.
Kau lakukan itu, untukku.
Usahamu, kerja kerasmu

Kau tau?
Yang aku tau, hanya pria hebat yang mau memperjuangkan aku.
Hanya pria yang bertanggung jawab yang akan bertahan denganku.
Sebab, aku tumpukan kekurangan yang ingin di genapkan.
Aku tidak datang dengan kesempurnaan.

Kau lelaki hebat,
Yang aku tau, tetes keringatmu jatuh saat melangkah menujuku.
Kau lelaki tangguh,
Yang aku tau,
Lelahmu untuk mewujudkan mimpiku dan mimpimu.

terimakasih, untuk pria yang sedang meng-akrabi keluarga sederhanaku, pria yang sedang berusaha mencuri hati ibu bapakku.
Pria yang sedang berusaha keras mengumpulkan uang demi mendengar kata “Sah” dari saksi dan waliku.
Terimakasih, untuk pria yang beberapa bulan lalu memberikan cincin manis untukku.
Terimakasih pria hebat, Rivqi Maulana..

Bicara Dengan Waktu

Aku pernah berfikir untuk apa ada di dunia. Bertanya tanya tentang apa sebenarnya bahagia. Dulu, aku masih bisa bicara denganmu, menceritakan segala masalah dan kerumitan hidupku di dalam rumah. Sekarang tidak lagi seperti dulu. Semuanya serba ku simpan sendiri. Kadang perih juga ku fikir, sulit sekali memendam dan memikul segalanya sendirian. Tapi lebih baik begini, tak ada yang mengolok olok tindak dan salahku. Tidak ada yang menertawakan kemalanganku. Mestinya kau tau, bagaimana perasaanku saat ini, seperti aku yang mencoba mengerti rasamu dari kejauhan. Dari statusmu di twitter dan facebook. Hanya dari dua media sosial itu aku mencoba untuk tetap mengerti keadaan dan perasaanmu. Seperti pesanmu dulu “Tetaplah menjadi orang yang memperhatikanku”.

Sekarang ku lihat kau sudah mempunyai seorang anak. Anakmu laki laki, benarkan? Dia tampan. Aku sempat berharap dulu, ketampanan anak anakmu kelak adalah karena mempunyai ayah yang keren seperti aku. Tapi sepertinya aku harus menguburnya dalam dalam. Karena itu tidak mungkin lagi. Kecuali suatu saat nanti kau menjadi janda dan menikah denganku. Tapi, aku sama sekali tidak menginginkan itu terjadi. Aku tidak ingin kau terluka. Apalagi meraskan pahitnya kehilangan atau di tinggalkan seperti yang aku rasakan.

Saat ini, aku ada di peron stasiun, duduk menyendiri. Aku diperhatikan satpam dari tadi. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin menceritakan kepadamu sesuatu. Dulu, ada sepasang kekasih yang suka sekali duduk disini. Lari dari sekolah di jam pelajaran kedua. Mereka masuk dari belakang stasiun, dan naik ke peron. Gadis itu sangat mirip dengan laki laki. Tapi gadis itu cantik, dan selalu membiarkan rambutnya terurai panjang. Dan rambutnya itu adalah satu satunya yang membuat gadis itu terlihat anggun. Mereka berdua sering kesini, duduk tapi tidak untuk menunggu kereta. Mereka hanya duduk untuk makan gorengan dan mendengarkan dangdut yang terdengar dari kios penjual kaset. Dulu banyak yang berjualan disini, tapi sekarang ku lihat sudah sepi.

Kau tau bukan siapa sepasang kekasih itu? Apa kau ingin aku sebutkan nama mereka berdua? Ah, tapi tidak perlu juga rasanya. Aku tidak ingin kau semakin membeciku karena kenangan kenangan itu.

Sebenarnya, ingin sekali aku berlari meninggalkan tempat ini. Tapi kedua kakiku mendadak jadi berat dan lemas. Mataku kelilipan. Perih,  jadi aku duduk disini. Dan kemudian aku ingat seorang gadis yang dulu, dan sampai sekarang masih ku cintai. Kamu…

Dihari kita terakhir bertemu, disini juga tempatnya. Kau bilang padaku bahwa “Semua orang mempunyai cita cita, dan setiap orang yang mempunyai cita cita berhak untuk mengejarnya agar menjadi kenyataan”. Lalu aku tanya apa cita citamu, dan dengan ceria kau jawab “Aku ingin menjadi guru” sambil menatapku. Apa ini yang kau bilang ketidak mungkinan itu? Kau tau, aku tidak suka guru. Tapi satu hal yang sepertinya tidak juga kamu mengerti, bahwa sebenarnya aku hanya tidak menyukai guru matematikaku saja. Dia galak, karena itu aku tidak menyukainya. Bukan berarti, jika kau jadi guru lalu aku jadi tidak suka. Dan, apa kau tau cita citaku? Sebenarnya, waktu itu ingin aku katakan bahwa cita citaku adalah menjadikanmu istriku, menjadikanmu ibu guru untuk anak anakmu. Tapi sengaja kusimpan. Akan ku sampaikan setelah aku lulus kuliah dengan  membanggakan seperti yang kau inginkan.

Stasiun ini berubah, sama seperti berubahnya dirimu. Tak lagi ku kenali segalanya. Tukang gorengan langganan kita sudah tidak ada. Sama seperti cintamu, hanya tinggal kata tiada. Mengapa harus berubah sedemikiannya? Bukankah kita bisa menjadi teman? Sama seperti saat kita masih duduk dibangku smp. Kita tak mengerti apa itu pacaran, tidak ingin tau lebih jauh tentang apa itu cinta. Jika berubahmu adalah keharusan, apa menyakitiku adalah kewajiban?

“Aku ingin jadi rumahmu yang saat kau merantau jauh, aku siap membukakan pintu kapan saja untuk menyambut kedatanganmu”, tulismu dulu di halaman terakhir buku catatan IPA. Aku ingat semuanya. Dan sepikun itukah kamu hingga lupa dengan segalanya? Setidaknya, atau lebih tepat seharusnya, kau memberitaukan ku tentang keadaanmu. Tentang pernikahkanmu dan tentang kehamilanmu. Agar aku berhenti sejak dulu untuk mencintaimu.

Kebencianmu, tak sepatutnya ada, meskipun aku memaklumi, bahwa kebencian yang sering kau katakan tiap tiap kali aku menghubungimu itu, adalah usahamu untuk menjaga cinta, untuk melindungi hubungan dan pasanganmu. Meski dengan itu, kau harus menyakitiku dengan bertubi tubi. Tak apa, kadang kebencian memang harus ada, agar orang lain tau bahwa cinta itu berharga. Dan aku tau, kau memang setia. Meski setiamu tidak untukku.

Bicara padamu, mungkin tidak akan mengubah apapun. Tidak menjadikanmu menjadi gadis yang ku cintai seperti dulu lagi. Biarkan aku untuk tetap memperhatikanmu. Meski hanya lewat tulisan tulisanmu itu. Aku akan tetap menjadi pengagum dari setiap kata dan uraian rambut panjangmu itu. Sama seperti dulu. Dan jangan memintaku untuk berubah. Aku takkan mengganggumu. Aku tau beratnya kewajibanmu untuk menjadi guru bagi anakmu. Aku juga tak ingin menambah bebanmu dengan cintaku.

Biarkan saja begini, biarkan waktu menyembuhkanku. Aku tidak ingin terpaksa melupakanmu. Karena sejauh apapun aku merantau, aku masih saja berharap kaulah yang akan membukakan pintu rumahku.

tak apakan?

sekedar harapan,

saat ini, cita citaku hanya sembuh dengan sempurna.

Melihatmu bahagia, dan akupun bahagia.

mungkin nanti, waktu akan bicara padaku,

lalu menunjukan wanita lain yang sepertimu,

atau mungkin yang lebih baik darimu,

lalu iapun jatuh cinta padaku, dan mau ku nikahi.

tidak ada yang tidak mungkin kan?

itu katamu…

Kereta Senja

Lengking kereta di akhir senja, menyeret kita semakin jauh terpisah.
Tiga hari yang terlewati bersama, berakhir tanpa sentuhan jari, tanpa kata yang terucap.
Hanya mata kita yang saling berpandangan.
Antara amarah dan kesedihan menyatu dalam satu pandangan. Kau dan aku.
Sore itu.

Pada Suatu Ketika

Pada suatu ketika, putra dari raja tikus bernama Ocit jatuh cinta pada seekor tikus pinggiran bernama Wirna. Ocit bertemu dengannya, ketika Wirna sedang mencari cari sisa makanan di pinggiran got istana. Istana itu sangat sederhana bagi manusia. Tapi amat mewah bagi keduanya. Rumah pak Maman adalah sarang bagi keduanya. Tapi nasib Wirna tak seperti Ocit. Ocit adalah bagian dari keluarga raja yang tinggal di dalam rumah,Ocit adalah tikus bangsawan. Sedang Wirna hanya tikus pinggiran yang sering berkeliaran di dekat selokan dan sampahan untuk mencari makan.

Pada suatu ketika, Ocit mengungkapkan isi hatinya pada baginda raja. Bahwa Ocit ingin meminang tikus pinggiran pujaannya. Tapi sang raja menolak, “Paling tidak, ia punya garis keturunan bangsawan” begitu sang raja memberi pengertian. Tapi terlanjur dalam cinta yang Ocit rasakan.

Pada hari itu, Ocit memutuskan untuk keluar dari istana dan menemui Wirna. Ocit tidak pernah keluar dari istana sebelumnya. Hingga ia salah memilih waktu.

Siang itu sepi, tapi sialnya Ocit bertemu dengan anak Pak Maman yang bernama Kia. Gadis berusia tujuh belas tahun yang pemberani dan pembenci tikus itu, diam diam mengintai Ocit. Ditangannya sudah di genggam sapu. Ocit tak sadar juga. Ia sedang kebingungan mencari jalan keluar menuju selokan.

Plak!! Sapu itu akhirnya mengenai badan Ocit.
Ia kaget dan lari terbirit birit, tapi sayang Kia tak mau kalah mengejarnya. Ocit terus lari dan lari. Hingga terlihat cahaya terang oleh matanya. Ia terus lari dan lari.. dan akhirnya keluarlah ia dari istananya. Rumah pak maman. Ia beruntung dan selamat.

Ocit mencari cari tempat tinggal sang pujaannya, Wirna. Dimulai.dari halaman, hingga belakang rumah, tapi tak ketemu juga. “Aku tidak akan putus asa, sudah sejauh ini aku berlari. Aku harus menemukannya. Menikahinya, dan akan ku bangun istana bersamanya” Ia kembali bersemangat mengingat wajah yang dicintainya, Wirna tikus pinggiran.

Setelah lama ia berjalan, akhirnya ia pun bertemu dengan komplotan tikus pinggiran. Ia bertanya tentang dimana rumah Wirna. Para tikus pun menunjukkannya. Ocit sangat berbahagia. Meskipun menyebrang jalan, Ocit akan melaluinya. Tapi sayang sekali Ocit yang sedang bahagia itu lupa diri hingga tak ingat peraturan. Ia menyebrang tanpa melihat kiri kanan. Beruntung ia tak tertabrak sedan yang baru saja melaju.

Waktu yang di tunggunya telah tiba, Ocit menemukan dimana Wirna tinggal. Saat ia mengetuk pintu rumah Wirna, ia temukan tikus tua yang tak lain adalah ayahnya. Rajanya. Dan tikus terdekatnya. Kaget sekali Ocit karena itu.

Ocit bertanya, untuk apa dan kenapa ayahndanya ada disini. Panjang lebar Ocit berkata, mendesak ayahnya untuk menjawab. Setelah lama terdiam ayahnya menjawab “Dia selirku”.

Sesederhana itu jawabannya.
Tapi mampu membuat hati Ocit remuk tak karuan. Ia berlari dan berhenti di tengah jalan. Berharap sedan tadi kembali menabraknya. Tapi tengah malam begini tak ada yang lewat. Ia pun kembali ke istana, ia kalap. Ia ingin mengambil pedang untuk membunuh sang raja. Ia berlari secepatnya. Tak peduli tivi masih menyala, pertanda keluarga Pak Maman belum tidur semua. Ah tapi lagi lagi ia tak peduli.

Setelah pedang di tangannya, ia kembali keluar. Tak terasa, perutnya keroncongan. Ia ke dapur dan menemukan makanan yang sebelumnya telah Kia campur racun tikus. Setiap hari Kia memang memberi racun tikus di makanan sisa keluarganya. Namun selama bertahun tahun tak ada tikus mati karenanya. Tikus tikus pintar. Tapi kali ini akan segera ada korban.

Ocit makan dengan lahapnya. Hingga ia rasakan pusing yang sangat hebat. Isi perutnya seperti ingin mendobrak tenggorokannya dengan kuat. Ocit sekarat, dan tamat.
Cintanya luluh lantah, lebur bersama dengan busa yang keluar dari mulutnya.

Berpisah (Lagi)

Kali ini, ku lihat senja dalam kereta.
Membulat jingga, sempurna.

Sesempurna kebisuan  kita,
Saat lambai tangan menghentikan kata
Kita berpisah..

Kita terpisah,
Seperti kaca terjatuh,
Kita menjadi serpih.

Jangan tanya bagaimana rasaku,
Karna kaupun pasti tau itu.

Sehari bersamamu,
Takkan mampu melunasi waktu ketika kau jauh..

Dan kau,
Terus menjauh di jalurmu,
Ketika ku rasa dingin di keretaku.
Silau tak menghangatkan,
Tak lagi memekakan mata,

Setengahku menghilang,
Melayang, hingga bisa ku lihat aku dan kamu bersamaan awan,

Rasaku, kosong..
Terasa ada yang kurang,
Pasti hatiku,
Terbawa olehmu, sayang..

Candu

Entah dengan apa kau memikatku waktu itu.
Dengan cara seperti apa kau membuatku jatuh cinta dulu, aku tak tau.
Sampai sekarang, aku belum juga mengerti, tentang pesona apa yang kau miliki.
Hingga sedemikiannya aku menyukaimu.
Hingga sehebat ini canduku padamu.

Aku berfikir, mungkin kau telah memeletku,
Membacakan jampi jampi, hingga setiap malam kau slalu datang dalam mimpi.
Atau, mungkin kau memang sedang kesurupan roh iseng.
Jadilah setiap saat kau menghantui aku.

Ah, begitu konyolnya pikiranku terhadapmu.

Harus aku akui, meskipun tak jelek, tapi banyak yang lebih darimu.
Lebih keren, atau lebih putih setidaknya.
Tapi satupun, tak ada yg bisa menarikku,
Mengikatku sedemikian kencangnya.

Setiap saat ada waktu,
Setiap ada kesempatan,
Pikirku, dan jari ku
Selali kompak untuk memikirkan dan menuliskan tentangmu.
Tentang perasaanku.
Dan tentang kehebatanmu yang membuatku tak bisa lepas darimu,

Karena (kamu)

Jadi apa kau tau?
Aku mencintaimu,
Untuk pertama kalinya, aku khawatir akan kesehatanku,
Aku takut tak sembuh,
Aku takut badanku semakin rapuh,
Itu karenamu,
Karena aku ingin jadi istrimu,
Aku ingin jadi ibu untuk anakmu..
Semua karna aku ingin menemani hidupmu…

Hai,

Hai dunia..
Itu saja…